TENANG
Suhu badanku sangat tinggi sekarang. Panas sekali rasanya dari dalam tubuhku. Rasanya ada kompor gas dengan api yang mengepul. Tak kalah parahnya adalah kepalaku. Seperti air mendidih dengan gelembung-gelembung panas yang muncul dimana-mana.
Badanku seperti itu karena dua alasan. Yang pertama adalah karena aku terlalu sering menghabiskan waktu bekerja. Aku adalah seorang penulis kolom di sebuah koran yang cukup terkenal di Jakarta. Pertamanya aku hanya menulis satu kolom. Namun pernah suatu saat ada teman seprofesi yang tidak bisa memenuhi deadline. Aku dipaksa menggantikannya dengan nama yang berbeda. Ternyata respon pembaca sangat heboh. Sebagai akibatnya, aku dipaksa menulis kolom tersebut setelah temanku dipecat.
Alasan kedua adalah aku menghabiskan sisa waktu luangku untuk Cruz. Dia adalah seorang gadis keturunan Spanyol yang menjadi salah satu relawan di LSM yang melindungi anak-anak. Kami bertemu di sebuah acara kantor dan akhirnya seiring ini dan itu, kami memutuskan mencoba menjalani sebuah hubungan. Hubungan kami penuh masalah yang tidak karuan. Bukan karena bahasa. Cruz fasih berbahasa Indonesia karena dia sudah empat tahun di Jakarta. Masalahnya adalah dulu Cruz sangat susah ditemui. Tetapi setelah beberapa waktu, justru dialah yang sering meminta aku untuk meluangkan sisa waktuku—kapan saja itu—untuk bersamanya.
Ada yang aneh dari dia. Aku selalu berusaha mengajak dia ikut bersama teman-temanku untuk acara minum kopi dan hang out bersama. Dia menyukainya. Namun tidak pernah sekalipun aku diajaknya untuk melakukan hal sebaliknya—berkumpul dengan teman-temannya.
Dia punya banyak sekali alasan untuk itu.
“Ini kan acara kantor.”’
“Kumpul-kumpul kali ini very boring, honey.”
“I am meting my old friend. We will talk a lot about our past time together. Nanti elu tidak paham, sayang. Next time, maybe?”
Begitu dan begitu. Capek rasanya. Aku selalu mengalah...sampai malam ini. Aku sedang di kos-kosanku di daerah Jakarta barat. Cruz meng-sms-ku berkata bahwa dia akan bertemu teman-temannya. Aku mengutarakanniatku untuk bergabung. Dia menolaknya dengan alasan bahwa teman-temannya adalah ibu-ibu tua yang sudah berkeluarga. Dia berjanji akan mampir ke tempatku setelah acaranya selesai.
Entah apa yang merasukiku, tiba-tiba saja aku tidak mempercayainya. Aku semakin memaksanya untuk mengajakku namun dia terus menolaknya dengan alasan yang sama.
“Mau ketemuan dimana?” Sms-ku ke dia.
“Kemang.” Kemang kan luas. Kenapa dia tidak memberitahukanku tempat persisnya?
“Sudah fixed janjinya?”
“Sudah.” Kalau sudah fixed, kenapa dia tidak memberitahukan tempat persisnya? Pikiran negatifku mulai kemana-mana. Hal itu membuat panas badanku semakin tinggi dan kepalaku semakin pusing. Perasaanku tidak enak. Aku tahu aku seharusnya beristirahat, tetapi aku tidak mungkin tidur dalam keadaan tidak tenang seperti ini.
Sms-sms kami berikutnya adalah pertengkaran tentang masalah kenapa dia tidak pernah mengajak aku untuk bertemu teman-temannya. Apa yang salah dari aku? Tampangku? Memang aku tidak berperawakan jantan seperti laki-laki lain. Kulitku terlalu halus untuk ukuran laki-laki dan suaraku pun kecil.
Ras ku? Apa salahnya menjadi orang Cina? Toh dia juga bukan asli orang Indonesia. Dan ini kan tahun 2009—masyarakat sudaj seharusnya berpikiran lebih terbuka terhadap masalah-masalah SARA.
Apakah kepribadianku? Aku memang pendiam. Tapi bukan berarti aku tidak bisa bicara dan bergaul kan? Apakah menurutnya gaya pergaulanku tidak begitu bagus?
Pikiran-pikiran negatif benar-benar mempengaruhiku.
“Kenapa sih elu ngelarang gw ketemu temen-temen lo?”
“Kemangnya dimana?”
“Are you ok?” Sms-ku tidak dijawab. Begitu juga dengan telepon-teleponku. Padahal dia berjanji akan mengabariku secepatnya. Aku benar-benar kacau fisik dan mental.
“Aku di motor.”
Kalau memang di motor sms, kenapa juga tidak menjawab saja pertanyaanku? Aku tambah parah. Suhu badanku naik drastis. Aku perlu tidur. Tapi aku juga perlu tenang. Aku lebih perlu tenang daripada tidur.
Aku ambil jaketku yang paling tebal dan aku raih kunci motorku.
“Aku di Sarinah.” Ada sms dari Cruz.
Baiklah Cruz, aku akan kesana dan membuat diriku tenang—hanya karena kamu tidak mau melakukan itu. Aku hanya perlu ketengangan hati. Itu saja. Tidak lebih. Aku mau curigaku terbukti salah sehingga aku bisa merasa tenang. Tenang.
Aku mengendarai motor malam-malam dan terkena angin yang sangat tidak bersahabat. Di dalam jaket aku bisa merasakan panas badanku semakin bertambah. Pandanganku pun juga kurang jelas. Sering aku menutup mata karena pusingnya terlalu kurang ajar.
Aku sampai di parkiran Sarinah. Aku mengeluarkan hapeku dan meng-sms Cruz.
“Gw minta maaf paling besar dari elu. Gw gak tenang sama sekali dengan kenyataan elu benar2 nyembunyiin(hiding) ketemuan lo sama temen2 lo. Gw di Sarinah sekarang. Gw cuma mau bikin diri gw tenang karena lo gak mau ngelakuin itu buat gw. Dimana lo sekarang?”
Aku mondar-mandir kesana kemari mengitari Sarinah sampai ada sms dari Cruz:
“Gw di Mcd.”
Langsung tanpa basi-basi dengan diri sendiri aku menuju kesana. Dan disana aku melihat... Cruz di salah satu meja di McD.
Dia sangat cantik dengan sweater hitam dan rambut brunette-nya. Di sekitarnya ada tiga orang ibu-ibu. dua diantara mereka berpakaian sedang repot dengan anaknya yang menangis.
Aku berdiri di pintu masuk dan merasakan keringat di badanku megucur deras di bawah jaketku. Aku merasa...tenang.
“Dimana? Gabung aja.”
“Makasi. Gw kesini cuma mau buat diri gw sendiri tenang. Gw uda tenang sekarang. Gw sakit seluruh badan. Gw mau pulang. Enjoy the rest of your night.”
Aku ke arah parkiran dan menuju motorku. Aku pasang helm ke kepalaku yang sekarang basah karena keringat dingin. Aku keluar dan menuju ke arah pulang.
Aku sudah merasa tenang.
Je
Post a Comment