Satu Hari Dalam Hidupku
Aku menggandeng Ria keluar mobil.
“Cepetan dikit, sayang. Sudah telat, kan?”
“Iya.” Jawab Ria pendek dengan muka betenya. Yang jelas dia tidak mewarisi muka bete itu dari mamanya.
Ria lari begitu saja meninggalkan aku yang menoleh ke belakang memastikan alarm mobil sudah hidup.
“Bukunya!” Aku berteriak dan Ria segera menghampiriku mengambil buku dan memeluknya dan berbalik menuju ke arah gedung LIA.
“Belajar yang baik ya, nak.”
Ria tidak menoleh ke arahku sedikitpun. Anak jaman sekarang. Mau bagaimana lagi? Aku berjalan pelan memasuki gedung LIA. Aku duduk di lobby menonton TV yang menayangkan acara gossip favoritku. Aku sering berhayal bagaimana rasanya bila aku menjadi seorang selebritis. Mungkin aku juga akan kawin cerai dan berfoto telanjang. Aku bisa senekad itu! aku sadar itu!
Tapi,...aku sudah cukup puas begini saja dulu. Aku sudah bisa tinggal di rumah megah dan mengendarai mobil mewah. Aku bersyukur akan itu.
“Jeng,..pa kabar? Ria uda masuk pa belum?” Tanti menggandeng Rio dengan sedikit menyeratnya.
“Ayo masuk. Cepat. Uda telat kamu. Mama tunggu disini.” Katanya ke anaknya.
“Ria uda masuk?” Dia mengulangi pertanyaan itu lagi.
“Uda tadi. Juga telat kok dia.” Jawabku sambil tersenyum.
“So,...aduh panas banget ya di luar. Mana AC mobil mati pula. Jakarta...Jakarta... Gak kayak Singapore, deh.”
“Duh sombongnya.” Pikirku dalam hati.
“Gak pingin ke Singapore lagi?” Tanyanya.
“Aduh, capek, Jeng. Rencananya malah mau ke Venice bulan depan. Ria kan butuh liburan.” Aku segera membayangkan apa yang akan aku lakukan di Venice. Mencoba naik Gondola tentunya. Romantis.
“Wah,...foto-fotonya ya. Anyway, foto-foto yang di Singapore juga belum ditunjukin, loh.”
“Buat apa nunjukin foto kedia? Mesti banyak komentarnya.” Pikirku.
“Ntar deh kapan-kapan.” Kataku. “Apa yang baru, nih?” Aku berusaha mengalihkan pembicaraan.
“Oh, ada ada. Nih lihat, Jeng.” Tanti mengeluarkan kalung emas yang bagus sekali yang tergantung di lehernya yang tadi tersembunyi di balik bajunya. Dia tahu benar akuakan menayakan hal itu.
“Bagus banget, Jeng. Bangga dong bisa pake kalung kaya gitu.”
“Ah, biasa aja. Saya sih sebetulnya pingin yang perak dengan liontin yang lebih kecil tapi lebih mahal” Lalu dia tertawa yang berkesan sangat seperti sinetron Indonesia.
“Kayak gini?” Aku mengeluarkan kalung perak yang baru aku dapatkan dari John. Liontinnya kecil dan berkelas dan jelas sekali lebih mahal dari punya Tanti.
“Waaaah...” Tanti kemudian mengatakan hal-hal yang terkesan tidak tulus dan penuh iri hati. Aku hanya menikmatinya dan menanggapi seperlunya. Hal itu berlangsung sampai bel pulang kursus Ria berbunyi.
Kami berpisah dengan janji mengobrol lagi pertemuan berikutnya. Aku masuk mobil menggandeng Ria dan memastikan sabuk pengamannya terpasang benar. Setelah itu aku mengendarai mobil sampai ke rumah di daerah Jakarta Selatan.
Setelah aku memarkir mobil, aku masuk dan bertemu wanita yang sangat ramah yang sudah menunggu di depan pintu. Ria langsung menghambur ke dalam rumah melewati wanita itu. Kasian sekali dia. Padahal dia adalah wanita terbaik yang pernah aku kenal seumur hidupku.
“Makasi ya udah nganterin Ria. Oia, sebelum aku lupa, besok kan ada garden party. Bantuin aku dan John siap-siap ya.”
“Iya, nyonya.” Jawabku.
Je...inspired by Mariskova
February 4, 2009 at 8:31 AM
Noooooooooooooooooo!!!
I refuse to inspire you!
Na-ah!
February 5, 2009 at 11:32 PM
Huahahahahaha... ngga ikhlas tuh yg jadi inspirasi :-D
Post a Comment