Aku mengendarai motorku menuju ke Chitos. Nia sudah menungguku disana. Di dalam perjalananku, terlintaslah beberapa kenangan dengan urutan waktu tentang bagaimana aku dan Nia menjadi seperti sekarang.
“Hello,...Cakra.”
“Nia.”
Kami bertemu pertama kali di sebuah kafe di Chitos. Nia adalah teman pacar sobatku. Kami ngobrol kesana kemari. Aku yakin pasti terlihat sekali usahaku mengimbangi percakapannya soal apa saja yang menjadi headline Detik.com. Aku pun beranggapan sama tentang Nia yang susah payah mengiyakan pendapatku tentang kelemahan-kelemahan film Indonesia.
Aku sedikit memaksakan dominasi topik dan mengusahakan kami berdua berakhir di Chitos 21. Aku menang dan pulang dengan satu nomor tambahan di hapeku.
Satu minggu setelahnya...
“Nggak bisa ngerokok disini.”
“Kita kan mau makan, bukan mau ngerokok.”
“Kan ngerokok paling enak bis makan. Kalo gak percaya, cobain deh.” Aku pun terkejut karena aku rela makan di Blok M Square yang anti rokok itu. Dan aku lebih terkejut lagi ketika Nia mau menungguiku merokok di luar Mall. Aku pikir keterjutanku hanya sampai disitu. Ternyata aku salah. Nia menarik rokokkku dan menghisapnya.
Enam bulan kemudian...
“Temenin beli DVD, yuk.”
“Yuk.”
Siapa sangka dia akan merekomendasikanku sebuah DVD semi? Bahkan dia mengajak aku ke rumahnya untuk menonton DVD itu bersama.
“Can you keep a secret?” Tanya Nia ke aku di kamarnya.
“Amin.”
“I’m a lesbian.”
Aku terdiam. Aku merasa gagal membaca tanda-tanda di diri Nia seperti rambut super pendeknya, koleksi pakaiannya yang tidak ada satu pun rok, dan tentunya... Sarah.
“Makanya kita sering jalan bareng. Gue juga tau lo bolak-balik liatin Maulana.”
Mau kemana lagi aku lari?
Dan kita pun menutupi semuanya berdua. Aku sering menemani Nia dan Sarah di kantin dan Sarah selalu mengajak Maulana—pacarnya—untuk makan bersama.
Sampailah aku di Chitos dan sekarang Nia dengan rambut pendeknya ada di depanku.
“Bodo banget lo kalo lo mau bilang suka ke Maulana. Egois juga. Lo pikirin dong gue and Sarah yang selama ini jadi temen lo.”
“Dengerin gue dulu. Masalahnya adalah, gue itu yakin Maulana juga sama aja kayak gue. Kan lebih bebas kita berempat.”
“Kalo nggak gimana?”
“Asal lo tau aja, Maulana kalo di kamar gue nontonnya DVD yang drama-drama gitu. And dia even pernah bilang kalo dia gak bisa nonton drama-dramaan ma Sarah. Takut keliatan gak jantan aja. Bukannya itu tanda-tanda?”
“Banyak lah cowok yang suka drama. Lo gak bisa nembak langusung ke dia kayak gitu. Terlalu besar resikonya. Dia bisa jadi males sama lo and kalo dia males ma lo, ntar dia juga males ma gue and ngelarang Sarah jalan bareng lagi ma gue secara dia tau lo sohib gue.”
“Tapi kalo misalnya Maulana emang kayak gitu, lo gak ada pikiran betapa senengnya gue? Gue juga berhak kan punya my very own little piece of heaven? And lo uda lupa bolak-balik marahnya lo ke Sarah kalo dia keceplosan ke lo cerita ciuman ma Maulana?”
“Heh, itu resiko yang jadi pilihan gue!” Nia tampak gusar.
“Ini juga resiko yang mau gue ambil!” Aku tidak kalah gusarnya. Setelah aku mengatakan hal itu, aku berdiri dan meninggalkan cangkir kopi yang belum aku sentuh.
“Cakra,...” Nia berteriak. “Please jangan. Lo salah kalo lo pikir gue gak peduli lo. Justru gue peduli banget ma lo!”
Dua minggu kemudian Nia menelponku setelah sekian lama tidak berhubungan sama sekali.
“Are you okay?”
“Yeah. Kenapa si lo gak bilang lagsung aja ke gue kalo lo tau Maulana itu kayak gitu juga and uda jadian ma Andre?”
“Coz I care about you and I want you to have your very own little piece of heaven by spending time with Maulana.”
Wats your own little piece of heaven?
-Je-
Post a Comment