Collection of DARK JOURNALS:
Nyata
Lima Putri
Cinta
Buko Mato Wang
Aku terbangun di tengah malam. Badanku berkeringat. Aku mengambil kaos yang tergeletak sembarangan di dekatku. Aku mengusap keringat di badanku. Remote AC yang ada di meja kecil di sebelah ranjang aku ambil. Aku memaksimalkan temperaturnya. Dengan segera aku merasakan hembusan hawa dingin masuk ke pori-pori di seluruh tubuhku. Aku baru saja mengalami mimpi buruk.
Aku bangun dari ranjang dan menuju ke dapur. Segera aku ambil satu kaleng sprite dari lemari es. Aku meminumnya di balkoni kecil di apartemenku yang terletak di Jakarta Utara.
Angin malam berhembus pelan mengusap bagian kanan tubuhku lalu ke sebelah kirinya. Apa angin itu angin jahat? Ah, aku tidak boleh perduli dengan hal-hal seperti itu. Aku benar-benar harus menghentikan pikiranku berjalan jauh. Aku takut apabila aku tanpa sadar mengikuti pikiran semacam itu. Sampai sekarang aku sudah bisa mengontrol hal-hal kecil yang membuatku berimajinasi. Tapi sampai kapan?
Imajinasiku bisa membunuh! Aku ingat pertama kali aku terinsipari oleh hal-hal kecil di sekitarku. Saat itu aku masih tinggal di Surabaya. Aku sedang tidur nyenyak sekali karena malamnya aku begadang sampai pagi. Tetapi baru sekitar dua jam saja aku tidur, aku segera terbangun. Yang menghentikan istirahatku adalah sebuah teriakan dari ibu-ibu tetanggaku yang aku tidak kenal namanya. Dia menjerit kencang sekali sehingga aku yang waktu itu ada di lantai dua sampai terbangun. Kepalaku sangat pusing tetapi aku begitu terganggu dengan teriakan itu. Aku melongok ke jendela dan kulihat di bawah, Di depan rumahku sudah berkumpul bapak-bapak dan ibu-ibu yang mengerumuni yang berteriak tadi. Mereka mencoba menenangkan si ibu-ibu yang masih histeris itu.
Aku benar-benar berharap mereka berhasil walaupun tampaknya tidak. Aku sudah tidak bisa tidur lagi. Akhirnya aku memutuskan untuk bangun dan berkumpul dengan mereka dengan mata merah.
Di kerumunan akhirnya aku tahu juga apa yang terjadi. Si ibu-ibu tadi baru saja pulang dari masjid untuk melaksanakan ibadah solat subuh. Di jalan pulang, dia melihat kobaran api kecil yang mendekatinya dengan cepat. Dia sangat terkejut dan hanya terpaku di tempatnya dia berdiri. Kobaran api itu semakin mendekat ke arahnya dan bertambah paniklah dia. Puncaknya adalah ketika kobaran api itu melewati dia dan dia bisa melihat empat kaki tikus di bawah kobaran api itu.
Ibu-ibu itu berteriak sangat kencang dan melihat tikus itu mulai berlari miring dan terjatuh di selokan. Apinya padam seketika. Namun teriakannya tidak. Beberapa saat setelahnya, beberapa warga keluar untuk menenangkannya.
“Siapa yang ngebakar tikus?”
“Tega banget tu laki.”
“Kok tau kalo yangngebakar laki-laki?”
“Apa ada wanita yang tega ngelakuin hal itu? Wanita mana yang tidak jijik sama tikus?”
“Istriku tidak.”
“Masak? Jangan-jangan istri kamu yang bakar itu tikus!”
“Jangan ngomong sembarangan ya!”
“Eh,...udah, udah!”
Celotehan-celotehan tidak jelas pun bermunculan disana-sini. Komentar-komentar dan berbagai macam dugaan pembakaran tikus itu pun muncul. Satu dua warga menganggap hal itu bukan sesuatu yang parah. Namun tampaknya sebagian besar lain menganggap hal itu sadis dan berbahaya jika didiamkan saja.
“Tikus memang mengganggu, tapi tidak perlu diperlakukan seperti itu.”
Seminggu setelah peristiwa itu, ada tahlilan di salah satu rumah warga. Aku menghadirinya. Bahkan aku juga ikut membantu pengedaran box makanan untuk para hadiri yang berada di luar. Di sebelahku adalah anak kecil yang bernama Rudi. Dia adalah anak idaman semua orang tua. Tidak jarang ibu-ibu di kampungku membandingkan anaknya sendiri dengan Rudi.
“Rud!” Ada suara yang memanggil Rudi dari sebelah kiriku. Rupanya Yanto—teman sepermainan Rudi. Diantara box makan yang beredar dari Yanto ke aku dan lalu ke Rudi, terjadilah bisik-bisik pendek diantara keduanya.
“Kapan main lagi?” Tanya Yanto.
“Nanti kalo orang-orang sudah ndak ribut.” Jawab Rudi yang segera membuatku merinding.
Suatu pemikiran muncul di kepalaku. Apakah itu benar-benar terjadi? Rudi?
Aku berdiri terdiam diantara mereka yang terus berbisik-bisik. Tiba-tiba saja bulu di belakang leherku berdiri. Aku memutuskan untuk merusak rantai pengedaran box makan dengan segera dan meninggalkan tempat itu.
Aku masuk ke kamarku dan menghabiskan waktu mengintip anak-anak itu dari jendela lantai dua di kamar. Aku sama sekali tidak boleh mengambil kesimpulan tanpa bukti. Tapi apakah benar? Apakah mungkin anak sesempurna Rudi melakukan hal itu?
Pikiranku banyak sekali dan harus aku buang. Aku menghidupkan laptop dan menulis apa yang ada di pikiranku. Aku tidak sadar bahwa saat itulah masa depanku terbentuk.
Sekitar setahun setelah peristiwa malam itu aku pindah ke Jakarta untuk bekerja di sebuah perusahaan keuangan. Di saat-saat penatku akan angka-angka dan tabel-tabel, aku menulis cerita. Salah satu ceritaku aku ikutkan di sebuah lomba cerita pendek. Aku menang. Cerita itu adalah cerita tentang Rudi, Yanto dan tikus.
Semuanya membawaku untuk lebih serius menekuni bidang tulis-menulis. Aku telah mempunyai salah satu novel cerita kriminal yang laris sekali. Judulnya adalah NYATA. Dan setelah itu, ada beberapa pembunuhan yang dilakukan oleh beberapa orang berdasarkan novelku NYATA. Aku dipanggil polisi dan tekejut mengetahui hal itu. Betapa aku sadar imajinasiku telah merenggut beberapa nyawa.
Semenjak kunjunganku di kantor polisi, aku memutuskan untuk berhenti menuruti imajinasiku. Aku benar-benar berhenti total. Namun karena aku suka sekali dengan cerita kriminal, aku memutuskan untuk menjadi seorang kontributor koran. Aku bertanggung jawab akan sebuah kolom kejahatan yang tidak wajar.
Aku mendapatkan uang dari memberitahu orang-orang tentang kejahatan yang terjadi di kotanya, bukan tentang kejahatan yang bisa mereka lakukan ke orang lain.
Apakah aku tenang? Selama ini aku lebih tenang. Tapi malam ini aku gagal. Semoga besok aku bisa mendapatkan ketenangan hidupku lagi. Aku menghabiskan Spriteku dan masuk ke dalam kamar. Aku merebahkan diri dan mencoba untuk tidur.
-Je-
Post a Comment