"GUILT" is a part of DARK JOURNALS--the series
“Can somebody die of guilt?”
“Sure.” Jawabanku atas pertanyaan Richard sangat mantap dan pasti. Setelah itu aku diam. Tampaknya Richard tidak tahan dan akhirnya menyakan alasanku berpendapat seperti itu.
“I believe you have a reason for that?”
“Not exactly a reason. Sort of an experience.”
“But you are still alive.” Richard pun tertawa setelah itu.
“Obviously it is not my own experience.” Kemudian aku memulai menceritakan bagaimana rasa bersalah bisa membunuh seseorang. Ceritaku ini aku dapatkan dari temanku yang bernama—Mike. Dia adalah seorang psikolog yang pernah aku mintai tolong untuk menjadi nara sumber untuk novelku NYATA (baca Nyata—DARK JOURNALS—the series di bagian lain blog ini).
“Banyak banget ya itu kaset rekaman wawancara lo sama pasien-pasien lo.” Komentarku membuka percakapanku dengan Mike. Dia tertawa.
“Kita nyebutnya “sesi”, bukan wawancara. Kayak kerjaan aja bahasa lo, Lex.”
“Bukannya ini emang kerjaan lo?”
“Yes, but,... sometimes gua ngerasa ini lebih sebagai sosialisai tertutup gua sama itu-itu orang semua.” Jawab Mike sambil menunjuk ke tumpukan kaset di lacinya.
“Are you emotionally involved?”
“Nggak boleh banget. Cuman ya,... susah.”
Aku tertawa sinis.
“Memangnya lo pernah nangisin salah satu pasien lo?” Membayangkan Mike, sosok pria tambun yang berbulu lebat di tangan, dan wajahnya menangis, aku tertawa lebih lebar.
“Pernah.” Satu kata dari Mike membunuh tawaku.
“Serius?”
Dia hanya mengangguk.
“Tell me about it.”
“You know I can’t. I took an oath. Rahasia is rahasia.”
“Di tahun 2009 ini masih ada orang kayak elo? Gua acungin jempol, deh.” Aku tahu Mike adalah orang yang bertanggung jawab yang tidak mungkin melakukan hal yang aku minta tadi. Dia tidak mungkin menceritakan tentang riwayat kliennya karena dia—seperti psikolog-psikolog lainnya sudah di sumpah untuk tidak menceritakan masalah kliennya. Saat itu aku teringat Wawan—polisi buncit yang menjadi informanku selama ini. Hanya dengan dua ratus ribu rupiah, dia akan menceritakan semuanya yang seharusnya tidak dia ceritakan.
“Nggak seru, dong.”
“Emang nggak, tapi gua bisa cerita tentang apa yang kejadian ke salah satu pasien temen gua. Secara teknis, si pasien bukan pasien gua, jadi kan gua nggak ngelanggar sumpah.” Kami berdua tertawa. Mike adalah orang yang sangat tahu bagaimana merangsang pikiran orang untuk tetap mengobrol dengannya.
“Go on. I am listening.”’
“OK.” Mike memulai ceritanya.
Dia memulai dengan phrase “istri yang selingkuh.” Phrase itu membuat imajinasiku membentuk sebuah bayangan pinggul wanita yang berbentuk sempurna yang dihiasi ujung rambut panjangnya. Bau harumnya pasti tercium dari jauh. Baunya pun pastilah elegan dan membuat laki-laki memandang wanita itu sebagai seorang wanita dan bukan pelacur.
“Wanita itu pasien temen gua. Kata temen gua, dia datang karena rasa bersalahnya sudah mulai menyiksanya. Suatu hari si suami datang dengan wajah berbinar-binar dan berkata bahwa hidup mereka akan berubah. Mereka akan bisa membeli rumah yang lumayan bagus, tidak seperti yang mereka tinggali. Ketika istrinya bertanya kenapa, dia menjawab karena dia baru saja dikenalkan oleh seorang keturunan India yang bisa memberinya pekerjaan di Gandhi International School. Gaji yang akan didapatkan si suami akan berlipat tiga dalam jangka waktu tiga bulan jika si suami menunjukkan komitmen yang bagus dan prestasi terbaiknya. Buat si suami itu adalah hadiah yang dia sudah menangkan sebelum bertanding. Dia bekerja di salah satu lembaga pendidikan terkenal dengan posisi yang sangat merangsang kreativitasnya. Semuanya sempurna buat mereka berdua.”
“Tapi?”
“Si istri tergabung di salah satu klub tenis di Jakarta. Di klub itu, ada yang suka chatting lewat internet. Singkat cerita, si istri diajakin coba-coba kenalan dengan salah satu orang yang kebetulan adalah si India itu. Si India berminat sekali bertemu dengan si istri. Biar tambah cepet ceritanya, langsunglah mereka ketemu and affair satu sore aja. Malemnya si istri bertingkah seolah nggak ada apa-apa.”
“Of course.”
“Yes, of course. Uda kayak sinetron aja, ya.”
“Yup.”
“And so, one day si suami bertemu dengan si India itu dan tampaknya si India menganggap si suami cocok untuk pekerjaan yang dia tawarkan. Malemnya si India ngajak si suami untuk maen cewek di club. Si suami menolak dan bilang kalo dia uda punya istri dan ditunjukinlah fotonya.”
“O-oh.”
“Yes, o-oh. So, the husband just left the Hindi guy. Langung dia confront ke istrinya. Nangis-nangis and palsu-palsuan gitu. And the deal was,... still on, actually. Si India masih nelpon si suami, minta maaf dan si suami bilang itu bukan salahnya dan itu memang bukan salah si India karena si istri nggak bilang kalo dia punya suami. Tapi dia tetep gak mau.”
“I am so sorry, but, this is another love story. Sementara kan tadi kita ngomongin soal rasa bersalah—guilt.”
“Yes. The wife cried and everything. Kalo lo suaminya, lo mau ngapain?”
“Ya jelas ditinggalin, lah.”
“Suaminya nggak ninggalin.”
“What?”
“Yes, suaminya nggak ninggalin si istri.”
“Let me, guess, dia jadi gila?”
“Untuk sementara waktu. Tetapi si suami normal-normal aja ato at least acting normal lah. Kadang-kadang dia memang nangis sendiri di luar rumah, pulang malem and mabuk, and bilang kalo setiap hari dia ngambil rute jalan yang beda karena rute yang biasa dilewatin bikin dia harus ngelewatin kantor si India. Dia pernah ngajak istrinya nonton, istrinya pingin nonton SLUMPDOG MILLONAIRE, si suaminya nangis, si istri minta nggak jadi nonton, tapi si suami akhirnya tetep ngajakin si istri nonton.”
“Karena itu film India.”
Mike mengangguk.
“Begitu dan begitu. Hal-hal yang dianggap biasa sama istrinya karena uda empat bulan lebih, masih bisa bikin si suami nangis.”
Si istri mulai ketemu temen gua sebulan setelah peristiwa itu. Dia ngerasa bersalah banget ngeliat suaminya mencoba tegar karena kejadian itu.”
“Buat itu istri, that was just one night stand, buat si suami it’s forever. Kayak gitu, ya?”
“Yup. As a matter of fact si suami emang pernah bilang kayak gitu pas si istri mulai capek sama ketegaran si suami. Si suami cuma bilang—dan ini gua inget banget karena dalemnya—“Elo uda motong kaki orang. Elo nggak bisa maksa orang itu lari!
“One night, puncaknya, sekitar tujuh bulan setelah itu, si suami bilang ke istrinya kalo dia mau ketemuan sama si India. Siapa tahu masih ada lowongan yang dijanjiin dulu. Itu semua karena mereka mulai ngalamin kesulitan keuangan. Tagihan-tagihan mulai numpuk. Belum lagi anak mereka uda mulai sekolah and al that. Si istri mulai ngerasa bersalah banget. Akhirnya setelah pertemuan itu, si suami telepon ke istrinya bilang kalo job offernya uda jatuh je tangan adiknya si India sendiri. Dan pas si suami pulang, istrinya uda meninggal bunuh diri.”
Aku pulang malam itu dengan sebuah kesimpulan—rasa bersalah bisa menjadi perasaan yang sangat kuat bagi manusia.
-Je-
Post a Comment