ZODIAK
(Writer’s note: ZODIAK adalah rangkaian dari DARK JOURNALS—the series)
Aku menghidupkan hp miniku. Warna hitam muncul di desktop tanpa ada gambar lain yang muncul setelahnya. Aku click satu shortcut folder yang bernama “DARK JOURNALS”. Aku membuka tulisanku yang terakhir—“Mayat-Mayat di Ladang”. Aku membacanya sampai kalimat terakhir. Aku perlu melakukan itu untuk mendapatkan feeling gelap sebelum memulai tulisan yang baru.
Beberapa minggu yang lalu aku bertemu dengan salah satu anak di SMA yang cukup terkenal di Jakarta. Aku sangat beruntung karena dia mau menemuiku. Mungkin itu gara-gara dia adalah salah satu penggemar bukuku dulu yang berjudul “NYATA”. Sampai saat ini kami masih berhubungan lewat email. Surelnya penuh dengan pertanyaan-pertanyaan standard penggemar seorang penulis dan jawabnku pun lebih standard lagi. Beberapa hari yang lalu dia mengirim email tentang sebuah kejadian di sekolahnya yang cukup menghebohkan. Kepala sekolah mengancam tidak meluluskan siapa saja yang membocorkan hal ini ke media. Namun penggemarku itu nekad melakukan itu untukku. Dia pikir tidak aka nada yang tahu. Dan dia juga yakin aku tidak akan membocorkan namanya ke media. Aku setuju untuk menjaga sumpah itu…demi sebuah artikel gelap.
Aku bertemu dengannya di J.Co Plaza Semanggi. Dai adalah anak SMA yang ceria. Dan sekali lagi dalam hidupku aku terkejut bahwa penggemar novelku NYATA adalah seorang Britney Spears.
“Makasi banget, mas Alex uda mau ketemu.”
“Gua yang makasi.”
Dia memesan kopi dan hanya kopi. Dan saat itu dari tempat dudukku aku memandang seorang gadis polos dengan bibir Marshanda yang tampak segar. Dia memakai baju biru cerah khas remaja-remaja sekarang dengan lengan yang secukupnya dengan belahan di dada yangbisa mengundang kejahatan seksual. Rambut lurusnya digerai sebahu dan harumnya sampai ke seberang tempat duduknya. Beberapa helai rambut itu berhenti di lehernya yang cukup jenjang dan berkulit putih. Saat melihat bagian itu, aku merasa tidak perlu menjadi seorang Dracula untuk tergoda. Badannya langsing dengan tanda-tanda pertumbuhan dibeberapa bagiannya. Melihat dia aku merindukan masa-masa mudaku.
Semua itu tampak kontras dengan secangkir kopi di depannya yang mulai dia minum. Setelah itu dia mulai membuka percakapan denganku.
“Bingung nih, mas. Baru pertama kali ketemu uda mulai ngomongin kasus.” Dia tertawa kecil.
Aku tersenyum.
“Kan bisa ngobrol-ngobrol dulu.” Aku merasa tidak menjadi diriku karena mengatakan hal itu. Percakapan ini sangat berbeda dengan yang biasa aku lakukan dengan Wawan—polisi bayaranku itu.
“Ya ngalir aja kali ya, mas.”
Aku mengangguk.
“Anyway, gakpapa kalo gua ngerokok?” Belum pernah seumur hidupku aku meminta ijin kepada orang di hadapanku untuk merokok!!
“Gak boleh, lah, kecuali mas Alex ngebagi ke gua.” Kami berdua tertawa dan apa peduliku dengan sopan santun? Aku memberikan rokok ke dia dan bahkan membantunya menyalakannya. Aku benar-benar tidak tahu apa yang terjadi pada diriku saat itu.
Kami berdua merokok dan dia mulai kelihatan serius dalam konteks cantik.
“Gini nih, mas. Kayak yang gua certain di email. Ada kasus di sekolah gua. Yang di mading itu, ada beberapa orang panitia. Gua jadi sekretaris. Ketuanya si Andre. Ada wakil ketua si Dian. Trus panitia lain yang namanya Rita sama Nia and Robert. Kan kita pas rapat mikir kalo anak-anak kok jarang baca mading. Padahal isinya lumayan bagus—mungkin gua ngomong gitu karena gua juga panitia kali ya, mas.” Dia tertawa. Aku tersenyum menahan darah mudaku.
“Muncul ni ide buat ngelakuin rombakan gede-gedean di mading. Gua usul ada yang dirubah di sesi zodiac. Gimana kalo kita itu bikin zodiak gak ngeyadur dari majalah-majalah remaja tapi ngepas-pasin sama kejadian di sekolah. Itu salah satu perubahannya, mas.
Langsunglah kita kerja. Rubrik zodiak sendiri digantinya perminggu biar seru gitu, mas. Kita mulai deh nyebut-nyebut nama anak-anak yang uda dilabel sama anak-anak lain di ramalan kita. Misalnya nih,..kalo bakal ada yang dapat duit, kita nulis kayak:
“Siap-siap aja dapet rejeki nomplok abis dari taruhan Chelsea lawan Manchester City entar malem. Abis itu coba lo jauh-jauh dari Riza. LOL.”
“Riza tu uda terkenal nodongin anak-anak yang dapet duit, mas.”
“Gak marah tu si Riza?”
“Dia sih orangnya cool-cool aja mas. Nah,…postingan kayak gitu lumayan sering dan kita ngamatin kalo rubrik zodiak jadi salah satu rubrik yang paling sering dibaca and dibahas anak-anak.”
“Keren idenya.”
“Makasi. Keren si keren, mas. Tapi ada yang serem. Hari apa gitu ada tulisan di mading itu yang kayak gini…” Dia mengambil tiga robekan sebuah kertas dari kantongnya dan salah satunya ditunjukkan kepadaku.
“Buat lo lo semua, jangan ke toilet cewek sendirian ya. Apalagi kalo lo cowok.”
Aku tertawa membaca satu kalimat itu.
“Lucu kan, mas?”
“Iya.” Dan aku tersadar sudah lama aku tidak tertawa.
“Yang laennya?” Aku mengacu ke kedua kertas yang masih ada di genggamannya.
“Ini buat ntar.” Jawabnya pendek.
“Anyway, ternyata sehari setelah artikel itu dimuat, salah satu temen kita yang namanya Dania lari teriak-teriak dari kamar mandi cewek pas di tengah pelajaran. Pas ditanya ada apa, dia bilang ada yang gangguin. Dia gak memperjelas yang ngegangguin itu siapa sampai akhirnya diinterogasi kepala sekolah. Katanya ada suara ngegema yang nyebut namanya pas dia di dalam toilet.” Badan remaja yang bernama Tabitha itu tiba-tiba saja bergidik. Pandangan mataku masih tajam kearah bibirnya dan berharap dia melanjutkan ceritanya. Tetapi sesaat kemudian aku malah menyentuh bahunya dan mengelus-elusnya. Ada perasaan takut didiriku kalau hal yang dialami Dania terjadi pada dirinya. Begitu sadar akan konsekuensi yang lebih lanjut, aku menarik tanganku.
“Sorry.”
“For what?” Tanyanya polos.
“Nggak papa.”
“Oh..” suasana kikuk mulai datang. “Ehm,..anyway, temen-temen Dania yang ngebaca mading itu mulai nyebut soal tulisan untuk gak ke kamar mandi cewek sendirian. Tapi kepsek nganggepnya itu cuma kelakuan cowok-cowok kurang kerjaan. Tapi Dania bilang kalo suara itu bukan suara cowok tapi suara ibu-ibu yang serak.”
“Terus?”
To be continued...
Post a Comment