“Bagaimana interview sejak dua hari kemarin?”
Pertanyaan dari atasanku itu membuatku memutar bayangan tentang apa yang terjadi dua hari ini. Aku ingat aku memakai kemeja putih, celana panjang hitam, jas putih dan dasi hitam tipis yang melambai ketika aku berjalan memasuki ruang interview yang serba putih susu. Aku duduk di sebuah kursi hitam di belakang meja putih.
Aku memusatkan pikiran sebentar dan setelah itu terbukalah pintu gerbang putih di ruangan itu. Muncullah seorang wanita dekil berambut keriting yang tampaknya sudah beberapa saat tidak tersentuh air. Bau yang keuar dari tubuhnya juga mendukung pendapatku. Belum lagi kesan yang ditimbulkan dari lubang-lubang di bajunya yang berwarna merah marun…ketika dia membelinya. Keberadaan dirinya benar-benar menarik perhatian semua udara yang sedang berhembus di ruanganku.
“Selamat pagi, Ibu Ling.”
“Selamat pagi, pak. Maksud saya,..selamat pagi mala..”
“Panggil saya Wu.”
“Baik, pak, Wu.”
“Wu saja, Bu.”
“Baik.”
“OK,…apa kabar Ibu hari ini?”
“Baik…” Lalu dia terbatuk-batuk dengan cukup parah. Aku sempat berharap semoga organ tubuhnya tidak keluar lewat batuk itu. Untungnya harapanku terkabul.
“Batuknya parah juga, Bu.”
“Iya. Masa menunggu ini memang sedikit berat untuk saya. Makanya saya sangat senang sekali bisa mendapat kesempatan bertemu dengan..kamu, Wu..”
Dia memerlukan sedikit penyesuaian dalam memanggil namaku tanpa embel-embel “PAK”. Walaupun sebenarnya aku lebih tua daripada dia, toh tampangku masih bisa dianggap seperti anaknya.
“Syukurlah kalau Ibu berbahagia sekarang.”
“Apakah ada pengaruhnya terhadap hasil wawancara ini kalau saya bahagia?”
Mata itu…pancaran sinar harapan yang selalu aku lihat di mata orang-orang seperti Ibu Ling hadir di ruangan itu.
“Tidak, Ibu. Namun, kebahagiaan adalah sesuatu yang positif, bukan?”
“Iya.” Dia menganggukkan kepalanya.
“Kapan terakhir kali Ibu ingat merasa sangat bahagia?”
Dia tersenyum. Pelan-pelan bibirnya melebar dan dia benar-benar tampak bahagia.
“Ketika saya menggendong cucu saya. Dia adalah anugrah bagi keluarga kami. Maksud saya,…setelah anak saya menunggu kehadiran bayi itu cukup lama dan akhirnya dia datang,…rasanya sungguh bahagia bagi semua orang, terutama bagi saya.”
“Kira-kira umur berapa sekarang dia?”
“Sekitar kamu, Wu. Dan dia pasti setampan kamu…kalau dia masih hidup.” Raut wajahnya segera berubah. Lambat laun pangkal matanya mulai bertemu. Kerutan di matanya mulai lebih menampakkan diri. Mereka saling mendekatkan diri satu sama lain. Sedih,…sangat sedih,…
“Maaf.”
Dia menarik napas panjang dan membuangnya sambil menggerakkan bahu ke bawah.
“Apa itu saat yang paling menyedihkan dalam hidup Ibu?”
Dia menggeleng. Kepalanya tertunduk sekarang.
“Ibu masih bisa melanjutkan wawancara ini?” Tanyaku lembut.
Dia mengangguk dan langsung menatapku dengan penuh harap agar aku tidak menghentikan wawancara ini hanya karena dia tampak sedih.
“Sebenarnya saya sedih karena ingatan saya tentang cucu saya membawa saya teringat akan Ibu saya sendiri.”
“Ada apa dengan ingatan itu?”
“Saya,…saya adalahanak durhaka, Wu.”
“Maksud Ibu?”
“Saya,…ah,…saya malu.”
“Kenapa? Bisa Ibu jelaskan secara lebih lengkap?”
“Wu,…mungkin kamu sudah tahu tentang ibu saya.”
Aku memang sudah tahu.
“Saya akan lebih paham cerita Ibu jika diceritakan lebih lengkap, Bu.”
“Baiklah.”
Aku memutar sebuah musik instrumental petikan gitar yang mendayu-dayu di kepalaku sambil mendengarkan cerita Ibu itu.
“Saya berumur sekitar tujuh belas tahun ketika itu terjadi. Wu, Bapak saya adalah seorang pejabat tinggi yang menghargai bawahannya. Dia sangat dihormati siapa saja yang dia kenal. Walaupun dia sangat kayak raya, dia tidak pernah menyombongkan diri di depan orang lain. Dia sangat bijaksana dalam segala hal, Wu.
“Suatu hari ada seseorang yang sangat membencinya karena hal-hal positif tersebut. Dia berusaha sekuat tenaga dan melakukan segala cara yang jahat untuk menjatuhkan bapak saya. Semuanya dia lakukan mulai dari memancing emosi bapak saya di depan umum, sampai menggunakan ilmu hitam. Syukurlah semuanya gagal karena pertolongan teman-teman bapak saya.
“Kegagalannya tidak membuat dia berhenti, Wu. Dia semakin terobsesi untuk menjatuhkan Bapak saya. Dan kali itu di mempunyai senjata yang sangat ampuh.”
“Apa itu, Bu?” Aku mulai mencondongkan bahuku ke depan.
“Bukan apa,siapa.”
“Maksud Ibu?”
“Saya sendiri, Wu.”
AKu menahan diri untuk tetapdiam. Pastilah tidak mudah untuk seorang anak mengakui kejahatannya sendiri kepada Bapaknya. Dia sedikit terisak. Aku merogoh kolong meja bawahku yang tidak ada apa-apanya dan kemudian menaruh tanganku ke atas meja dengan tujuh helai tisu yang diambilnya dan diremasnya tak beraturan. Matanya kosong menatap ke arah kanan.
“Ibu masih mau melanjutkan cerita Ibu atau mungkin kita…”
“Akan saya lanjutkan, Wu. Selama disini saya sudah belajar bahawa langkah pertama menyelesaikan masalah adalah mengakui kalau masalah itu benar-benar ada. Akan saya lanjutkan, Wu.”
Aku hanya mengangguk.
“Laki-laki itu sangat tampan, Wu. Dia adalah sosok kemapanan di mataku selain Bapakku. Yang membedakan mereka berdua adalah kemudaan jiwa yang dipunyai laki-laki itu yang tidak aku temukan di sosok Bapakku.
Dia adalah laki-laki yang tegar, yang penuh petualangan dan dia mencoba membawaku kesana, Wu. Aku masih muda. Aku terkalahkan oleh keinginan mencoba sesuatu yang dilluar kehidupanku.”
“Apa itu, Bu?”
“Kebebasan.”
Aku masih belum jelas dengan apa yang dia maksudkan dengan kebebasan.”
“Dia menunjukkanku arti kedewasaan. Aku harap kamu mengerti maksudku, Wu. Aku tidak tahu lagi bagaimana menjelaskannya kepadamu tanpa merasa lebih malu.”
Aku mengerti apa yang dia rasakan. Tetapi aku tidak boleh salah akan penilaianku terhadap ibu di depanku ini. Aku memejamkan mata dan menuju ke suatu waktu dimana aku melihat ada dua tangan manusia berbeda jenis yang berpegangan erat. Tangan seorang laki-laki dewasa dan seorang gadis remaja. Laki-laki dewasa itu mengelus-elus tangan kiri si gadis dengan penuh kasih saying. Si gadis melepaskannya sebentar untuk pergi ke dapur dan menyiapkan segelas minuman untuk si laki-laki. Kemudian si gadis kembali ke laki-laki tersebut dan memberikan gelas berisi air putih itu kepadanya. Lalu aku bisa melihat betapa temanku dekat sekali dengan laki-laki itu setelah sebelumnya badan laki-laki itu bergetar hebat karena minuman yang baru saja ditenggaknya. Dan dia terjatuh dan hilang ketika kepala bagian kirinya membentur pinggiran meja meninggalkan bekas luka yang biru. Lalu aku melihat temanku menggendeng jiwa si laki-laki yang saat itu matanya memancarkan kekagetan yang amat sangat.
Di pikiranku yang lain, si gadis terisak-isak hebat di pelukan laki-laki dewasa lain. Dan setelah itu aku kembali menatap ibu di depanku dengan mata merahku yang menyala!
“Maafkan aku. Aku tidak berhak mendapatkan apa yang aku pinta darimu, Wu. Aku tidak berhak.”
Mata merahku padam ketika aku menatap dadanya. Hatinya mengeluarkan air mata dan ada bayangan jelas disana akan dirinya yang sudah tua mendengar kabar bahwa Ayahnya sedang menangis berjalan kesana kemari di luar kamar persalinan Rumah Sakit dengan perasaan yang tidak menentu. Dia sedang menunggui istrinya yang berjuang untuk dua nyawa---nyawanya dan nyawa seorang bayi.
“Aku hanya menginginkan sebuah kesemaptan lagi untuk memperbaiki semuanya. Mereka berhak akan kesempatan itu, tetapi aku tidak. Aku jahat, Wu.”
Ibu itu bangun dari tempat duduk dan segera berlari menuju pintu. Aku membuat jarak tempuhnya menjadi satu keabadian. Aku sengaja melakukan itu.
“Menurutmu dia berhak akan kesempatan itu?”
“Aku sudah melakukan ini berkali-kali dan kali itu adalah pertama kali aku menitikkan air mata karena aku terserang rasa sedih. Aku tidak pernah menangis sebelumnya. Aku sudah melihat banyak sekali manusia yang ingin kembali tetapi untuk dirinya sendiri. Dia ingin kembali karena ayahnya. Bukan karena dirinya sendiri.”
“Mengapa kamu tidak berpikir kalau dia akan lupa dengan tujuannya kembali?”
“Aku yakin dia tidak akan lupa.”
“Dia adalah seorang anak manusia. Manusia selalu lupa dengan hal-hal baikketika mereka mendapat kesenangan, Wu.”
“Kalau begitu ijinkan aku mengingatkannya. Aku yakin dia akan selalu ingat, Tuan.”
“Apakah kamu yakin, Wu?”
“Dengan seluruh hatiku, Tuan.”
“Baiklah.”
Aku kembali memperhatikan Ibu itu menuju pintu gerbang merah marun di ruanganku yang menjadi lebih dekat dengannya. Tangannya meraih pintu itu dan membukanya. Kakinya melangka keluar dan dia terjatuh ke bawah,…jauh ke bawah.
Laki-laki yang tadi menunggui istrinya bergetar hebat hatinya. Dia mendengar rengekan seorang bayi. Matanya berbinar. Lapisan kulitnya terangkat dari yang lain dan dia merasa kekhawatirannya pergi terngakat bersama kulit itu.
“Anak laki-lakiku!!!” pekiknya di depan kamar Rumah Sakit.
Seorang suster keluar dan memberinya kabar bagus.
“Selamat tuan. Anda menjadi ayah dari seorang putri yang cantik.”
“Putri?” Kebingungan menyerang si laki-laki.”
Dia berjalan mondar-mandir sambil menunggu gilirannya melihat mata tak berdosa itu. Dan ketika saatnya tiba, dia merasa sangat bersyukur mendapatkan bayi yang sehat walaupun ada tanda kebiruan di kepala sebelah kirinya.
--Je--
Post a Comment