“Sudah menentukan pilihan?”
Aku terdiam.
“Mata, tangan atau kaki?”
Aku tetap terdiam.
“Diammu tidak akan merubah tawaranku. Kau tahu itu. Kau benar-benar tahu itu.”
“Kalau kamu harus memilih, mana yang akan kamu pilih?”
“Dalam keadaan biasa, aku tidak akan menjawab pertanyaan itu. Tetapi aku menganggapmu spesial. Jadi aku akan menjawabnya. Kaki.”
“Kenapa?”
“Itu aku tidak tahu. Aku hanya asal menjawab saja.”
“Kau menempatkanku tanpa pilihan.”
“Hahaha. Hidup ini masalah pilihan. Dan aku memberikan pilihan kepadamu. Bahkan aku memberikanmu TIGA!”
“Pilihan-pilihan yang ada tidak menguntunganku.”
“Tapi tetap saja ada pilihan, kan?”
“Tapi...”
“C’mon! Korban-korbanku tidak pernah aku berikan pilihan karena aku tidak menganggap mereka spesial. Nggak cukup ya?”
“Kenapa aku spesial?”
“Ha?”
“Aku merasa perlu tahu kenapa kau menganggap aku spesial.”
“Buat apa?”
“Buat apa kau melakukan semua ini padaku?”
“Karena aku ingin.”
“Aku punya alasan yang sama.”
“Baiklah. Aku menganggapmu spesial karena semua korban-korbanku hanya bisa berteriak dan memohon kepadaku untuk dilepaskan ikatan tangan dan kakinya. Kamu berbeda. Memang sih kamu berteriak. Tapi bukan minta dilepaskan. Kamu berteriak mengata-ngatai aku. Itu yang membuatmu berbeda. Aku yakin yang lainnya cuma berani mengataiku di dalam hati mereka. Kamu berbeda.”
“Dan karena itu aku berhak mendapatkan TIGA pilihan itu?”
“Yup.”
“Ok.”
“So, apakah sudah siap memilih?”
“Tidak.”
“Hahaha. Kau coba memperpanjang waktu sampai polisi dating? Nggak bakalan. Aku pikir kamu lebih pintar dari itu.”
“Tidak.”
“Maksudnya?”
“Kau tanya apa aku siap memilih. Aku jawab tidak. Silahkan saja ambil tangan,kaki atau mataku.”
“Maksudnya?”
“Silahkan saja. Aku tidak akan siap kehilangan mereka. Tapi seperti yang kamu katakan, aku masih punya pilihan. Aku tidak mau memilih penderitaan yang aku akan tanggung di hidupku nanti.”
“Aku tidak paham.”’
“Rasa bersalah. Aku tidak mau merasa bersalah dalam hidup. Jika nanti suatu saat aku tidak bisa melihat, aku tidak akan menyalahkan diriku sendiri. Jika nanti aku tidak bisa meraih gelas untuk minum, aku tidak akan menyalahkan diriku sendiri. Jika nanti aku tidak bisa berjalan cepat ketika menahan buang air, aku tidak akan menyalahkan diri sendiri. Aku tidak mau tahu itu.”
“Hahaha.”
“Kalau kamu bisa membuka mata dan bangun di pagi hari tanpa rasa bersalah,...aku tidak bisa.”
“Jawaban macam apa itu?”
“Jawaban dari orang yang spesial dimatamu.”
“Aaaah,...omong kosong.”
“Kalau begitu,..langsung saja. Surprise me! Bikin aku terkejut bagian mana dari tubuhku yang tidak akan ada besok.
“Mmmm... kamu lagi bermain-main dengan pikiranku, ya?”
“Tidak juga. Aku hanya tidak mau bermain dengan perasaan bersalahku.”
“Aaaah,..rasa bersalah lagi!!!”
“Iya. Buatku itu lebih penting daripada mata, kaki atau tangan.”
“Kau banyak bicara!”
“Bukannya itu yang membuatmu berpendapat bahwa aku spesial?”
“Dan baru sekarang aku sadar kalau kamu spesial dengan cara yang menyebalkan.”
“Maksudnya?”
“SUDAH!!!!”
Di sebuah kedai kopi, aku sedang mengobrol dengan seorang teman lama.
“Aku benar-benar tidak tahu harus bagaimana.” Kata temanku.
“Kamu sudah tahu harus bagaimana. Dan hari ini kamu bertemu denganku sebenarnya bukan untuk meminta pendapat. Kamu hanya ingin mendengar seseorang yang akan mendukung keputusanmu.”
“Bukan begitu. Aku benar-benar tidak bisa berpikir sehat sekarang ini. Apa aku harus tetap menjadi suami kedua buat dia? Atau harus menceraikannya? Aku stress menghadapi masalah ini. Aku sudah mulai minum lagi seperti dulu. Aku pasrah. Aku akan menyerahkan keputusannya kepada istriku.”
“Jangan. Ada pilihan di depanmu. Mungkin sekarang kamu berpikir bahwa kalau kamu menyerahkan pilihan itu kepada istrimu, kamu bisa menyalahkannya ketika sesuatu yang buruk terjadi di masa depan kalian berdua nanti—bersama atau tidak. Tapi percayalah, lebih baik kamu mengambil salah satu pilihan itu daripada orang lain mengambilnya untukmu. Rasa bersalah untuk tidak memilih sesuatu dalam hidup kita untuk kita sendiri akan lebih besar daripada rasa bersalah memilih pilihan yang tidak enak. Percayalah, I have learned it in a very hard way.”
Percakapan kami berakhir disana. Kami berdua keluar dari kedai kopi itu. Temanku melangkahkan kakinya sedangkan aku mendorong kursi rodaku.
--Je--
March 19, 2010 at 10:26 PM
'Rasa bersalah untuk tidak memilih sesuatu dalam hidup kita untuk kita sendiri akan lebih besar daripada rasa bersalah memilih pilihan yang tidak enak'
great punchline, Je.
March 20, 2010 at 12:38 AM
actually it's to describe ur current situation, daff. LOL.
Post a Comment