Aku tidak tahu kenapa orang masih saja memilih SOLARIA untuk tempat bertemu dengan orang lain. Wawan—polisi informan bayaranku—memilih tempat ini. Dari pintu restoran itu aku melihat perut buncit Wawan bergerak kesana kemari seolah akan tumpah kemana-mana. Laki-laki itu benar-benar membutuhkan exercise di gym!
“Heeeeey!” Sapaan yang lama dan menyebalkan dan sok cool yang sebenarnya tidak perlu keluar dari dia. Dia berusaha menjabat tanganku. Aku akhirnya mengulurkan tanganku yang kemudian diraihnya. Dia melakukan jabat tangan normal yang kemudian dilanjutkannya dengan cara jabat tangan anak muda atau atlit atau apalah sebutannya yang tidak sesuai dengan profilnya.
“Apa kabar lo?”
Aku hanya bergumam. Dia tertawa serak khas perokok dan kemudian bertanya:
“Uda pesen?”
Aku menggeleng saja dan menghisap rokok Starmildku.
Dan Wawan tertawa. Tampaknya tertawa adalah solusi dari semua masalahnya yang aku yakin banyak.
“Kenapa nggak pesen?”
“Gua males pesen sekarang and makannya taun depan.” Dia tertawa lagi.
“Dan gua kesini bukan buat makan.” Dan dia tertawa sekali lagi sebelum melanjutkan kalimatnya.
“O,..gua kesini buat makan. Mbak!” Dia berteriak ke salah satu pelayan seperti memanggilorang di tengah sawah.
“Elo kesini buat kerja.” Kataku dingin.
“And makan. Gua laper. Apalagi elo yang bayar, kan?”
“No.” Aku menghisap rokokkku lagi.
“Masih pelit aj ya, lo.”
“Dua ratus ribu buat cerita dari elo yang belum tentu bagus uda cukup kayaknya.”
Dia tertawa.
“Mulai aja sambil nunggu pelayannya.”
“Tuh uda dateng, kok.”
Dan proses menunggu terjadi lagi. Dia butuh waktu sekitar lima menit hanya untuk menentukan apa yang akan dia makan. Aku benar-benar malas menunggunya. Toh semuanya akan bercampur aduk di dalam perut buncitnya itu!
Dan ketika pemesanan makanan selesai, dia lanjutkan dengan seenaknya mengambil rokok Starmildku.
“Mulai aja. Gua nggak punya banyak waktu.”
“Hahahaha. Nyante lah, man. Wazzup?”
Bahasa Inggris yang dipaksakan.
“Kalo elo nggak punya banyak waktu, buat ngomong ma gua,..apa enaknya gua bisu elo aj, ya. Hahahahaha.”
Aku memiringkan kepalaku ke kanan atas dan menaikkan sedikit alis kiriku.
“Gini nih. Kemaren nih, ada orang masuk penjara karena dia ngebius cowok lain.”
Aku segera menghidupkan rekorder di hapeku.
“Orangnya cowok apa cewek?”
“Cowok. 32 tahun. Kamal. Dia lagi deket sama cewek yang ternyata dikejar juga ma si korban.”
“Nama?”
“Fahmi.”
“Jadi ceritanya di Kamal tau kalo Fahmi juga ngejar-ngejar si cewek. Gua liat fotonya si cewek, neh. Asli,...gua yakin kalo itu pantat ngegoyang, Jakarta gempa deh. Hahahahaha.”
Aku terdiam dengan ekspresi datar menatap dalam-dalam ke matanya untuk menunjukkan ketidaktertarikanku pada apa yang dia omongkan barusan.
“OK. Masalahnya si Kamal ngebawa ini Fahmi ke tukang bikin tato. Dia bilang ini Fahmi itu temennya and dia pingin banget punya tato di wajah tapi dia takut kesakitan. So, dia minta si Kamal ngebius dia and ngebawa dia ke tukang tato.”
Wawan berhenti bercerita dan menghisap rokoknya dalam-dalam lalu mengeluarkannya dengan cara yang tidak beraturan.
“Laper gua.”
“Terus?”
“Ya terus gua pingin makan. Lama gak ya?”
“Maksud gua, terus gimana si Kamal?”
“Oh...ya,...gitu deh. Si Kamal ya gitu deh.” Wawan kembali melakukan hal yang paling aku benci. Menunggu. Terutama karena aku membayar dua ratus ribu untuk itu.
“Si tukang tato jelas-jelas nggak percayalah. Tapi siapa yang nggak bakal nurut kalo dia diancam pisau.”
“Si tukang tato ngelawan?”’
“Hahaha. Akhirnya elo nanggepin juga cerita gw selain dengan kata “terus?”, “terus?”. Hahaha.”
I hate this bastard!
“Ya akhirnya dia ngelawan. Jadi ribut and akhirnya ketauan sama orang-orang di sekitarnya. Untung deh. Polisi dateng and bla bla bla. Tapi...”
Aku berjanji kepada diriku sendiri untuk tidak bertanya lagi ke Wawan. Aku diam. Aku sangat diam.
“Elo nggak penasaran?”
Aku diam saja menatap matanya dengan amarah yang amat sangat.
“Tapi akhirnya si Kamal sempat juga ngegores wajah si Kamal. Dari ujung telinga kanan, ke pipi dan terus ke ujung kiri mata kanan.”
Aku sudah menemukan apa yang aku cari pagi itu.
“Adalagi?”
“Uda itu aja. Oia, ini ada foto yang gua ambilin buat elo.” Wawan menyerahkan sebuah foto yang aku lihat cukup sekali.
“Tambahin gua lima puluh ribu, ya. Lagi bokek berat. Hehehe.”
Aku melihat wajahnya dan berkata:
“No!”
Aku mematikan rekorder di hapeku dan memasukkannya ke kantong. aku mengucapakan “OK” dan kemudian berdiri.
“Eh, mau kemana lo?”
Aku mengeluarkan uang dua ratus ribu dari kantong celana dan menaruhnya di meja.
“Eh, gua makan aja belum.”
“It’s SOLARIA. What do you expect? Gua balik.”
Wawan terdiam di meja saat aku meninggalkannya.
DI depan HP Miniku aku menulis kolomku untuk segera aku kirim ke editorku setelah selesai.
Aku menghisap rokokku dalam-dalam dan menghembuskannya. Apakah luka goresan di wajah lebih baik daripada tato?
March 6, 2010 at 7:09 PM
judule juga cocok kalo 'laper, minta traktir dan ngga berhasil'. tapi kayaknya isinya akan romantis komedi yaaaa? wakakakakakak.
March 6, 2010 at 7:55 PM
kakakakakakak. dasar. anw,..masih pait ya tulisan gw :)
March 11, 2010 at 9:41 AM
wah.. tulisan yang bagus.. gue suka cara penulisan dan cara penyampaian ceritanya.. ga ngebosanin.. pilih kata2nya juga layaknya percakapan di warkop.. benar2 suka deh.. ada tombol like nya kek di facebook.. haha..
March 12, 2010 at 10:08 PM
makasi ya. sebenarnya pesan moral cerita ini cuma satu...jangan makan di SOLARIA. hehehhe. Thnx for visiting :)
Post a Comment