Aku berjalan di lorong Rumah Sakit di tempat aku bekerja. Jalanku kali ini tidak seperti biasanya. Lorong ini selalu mendapati aku yang berjalan tegap, percaya diri dengan kemeja rapi, baju dokter dan dasi sutra tipis yang berkibar-kibar karena cepatnya jalanku. Rambutku juga bergerak-gerak sedikit mengornameni wajahku yang penuh kesan sukses. Tapi tidak hari ini. Tampangku kusut. Rambutku tidak teratur. Bajuku memang masih aku masukkan ke celana, tapi tidak rapi lagi. Baju dokterku aku tenteng begitu saja di lengan kananku. Jari-jarinya memegang laptop dan berkas Romi—laki-laki yang menyebabkan tampangku seperti pagi ini.
Aku mengetuk ruang pertemuan itu dan segeralah aku masuk serta mendapati ruang rapat itu sudah penuh dengan orang-orang yang akan menertawakan aku pagi ini. Tidak adakah cara yang lebih baik untuk memulai hari?
“Silahkan duduk, Dr. Je. Sedikit terlambat?” Sindiran Dr. Ramli dia lonntarkan begitu saja sambil dengan palsunya sedikit melihat jam tangannya.
“Maaf.”
“Langsung saja dimulai presentasinya.” Lanjutnya.
“Terimakasih.” Aku segera menyambung laptopku ke LCD dan menghidupkannya. Waktu yang diperlukan laptopku untuk hidup memang tidak lama karena aku tidak mematikannya. Hanya mengaturnya ke mode berhibernasi. Itu karena presentasiku baru saja selesai sepuluh menit yang lalu di ruang kerjaku.
“Selamat pagi, dokter-dokter.”
“Langsung saja, Dokter Je. Kami tidak punya banyak waktu. Kami hanya perlu untuk tahu dasar dan hasill analisis Romi sebelum menyampaikannya ke pers dua jam dari sekarang.” Dr. Ramli memotong ucapan pembukaku dengan tegang.
Memang semua orang disini sangat tegang. Aku juga tidak menyalahkan mereka. Siapa yang tidak tegang kalau salah satu staffnya melakukan percobaan bunuh diri tersadis di tahun 2008—seperti dikutip salah satu media cetak di Jakarta? Romi menelan kepingan DVD “Love Actually” yang sebelumnya sudah dia potong-potong.
Aku ingat pertama kali aku mendapat kabar itu. Aku langsung ke Rumah Sakit dan berkumpul dengan dokter-dokter lainnya. Tiba-tiba saja ada wartawan disana yang ternyata dikabari oleh salah satu pasien yang sedang dirawat di Rumah Sakit tempatku bekerja. Wartawan itu segera mengusik-usik apa saja demi informasi dan dia berhasil. Segeralah berita menyebar kemana-mana dan pihak Rumah Sakit memutuskan untuk menugaskanku meneliti apa yang sudah terjadi kepada Romi. Aku disuruh untuk bekerja sama dengan polisi lokal, namun susah sekali mengatur jadwal karena banyak pasien yang harus aku tangani. Namun aku tetap menyempatkan diri untuk mengurusi masalah Romi. Selain karena memang aku situgaskan untuk itu, Romi adalah teman ngobrol yang menyenangkan.
Slide pertamaku berisi tentang riwayat kesehatan Romi. Secara fisik dia sehat. Hanya masalah jerawatlah yang tercantum di riwayat kesehatannya. Aku melanjutkan dengan proses wawancara yang aku lakukan dengan Romi. Semuanya kami lakukan dengan komputer karena Romi benar-benar tidak bisa berbicara—organ berbicaranya rusak total gara-gara goresan potongan DVD.
Aku hanya mempunyai waktu dua hari untuk mengorek alasan kenapa Romi melakukan apa yang dia lakukan. Slide-slide ku berikutnya berisi cuplikan ketikan-ketikan pertanyaanku dan jawaban Romi selama sesi berlangsung.
Setiap aku selesai meng-klik slide, aku mencoba memperhatikan reaksi semua orang yang ada di ruangan itu. Wajah mereka dingin. Tidak ada perubahan. Yang ada hanya anggukan kepala ke arahku sebagai tanda mereka sudah selesai membaca dan siap untuk slide berikutnya. Aku tidak tahu apa yang ada di benak mereka. Walaupun sebenarnya aku lebih ingin tahu apa yang ada di hati mereka. Hatiku sendiri merasa tidak enak ketika membaca salah satu slideku:
“ J: Kenapa “Love Actually?”
R: Itu yang mereka tonton ketika selingkuh di rumahnya. Itu adalah film yang dia janjikan akan kita tonton DVD-nya minggu depan. “
Aku sampai pada kesimpulan bahwa apa yang terjadi pada Romi adalah reaksi traumatis terhadap apa yang terjadi. Semua tampak setuju walaupun aku juga bisa melihat kekecewaan yang ada di raut wajah mereka. Aku yakin mereka berharap aku memberi kesimpulan yang mereka belum tahu. Aku sendiri merasa diriku sudah berhasil. Tugasku adalah memberi data terhadap kesimpulanitu.
Aku biasa menutup presentasiku dengan suatu kalimat yang bisa meninggalkan perasaan yang masih akan dirasakan para peserta walaupun mereka sudah meninggalkan ruangan. Saat itu aku hanya berkata:
“Saya selalu menganggap Romi sebagai seorang yang ceria. Hanya ada kebahagiaan di hidupnya. Tetapi tampaknya kita bisa menjadi orang lain ketika kita jatuh cinta.”
Je
February 10, 2009 at 6:37 AM
hmmm,aku merasakan ada potongan ekspresi pribadi disana sini.are they pieces of you?
Post a Comment