(Writer's note: "DUA SISI" adalah cerita kedelapan dari DARK JOURNALS--the series)
“Uda disuntik obat tenang. Sekarang lagi tidur dia.”
“Kapan sadar?”
“Tau deh, tuh. Untung aja uda gak ngorok. Kakakakakakakak.”
Aku tidak pernah suka cara Wawan tertawa. Akhir dari suara yang sangat menggangguku itu adalah batuk-batuk yang berat. Aku selalu membayangkan akhir hidupnya adalah karena TBC dari rokok yang dia hisap…yang sebenarnya bukan punyanya.
Pagi ini aku sedang berada di depan Rumah Sakit St. Carolous di Salemba. Aku mendapat pesan singkat Wawan untuk bahan kolomku. Aku segera berangkat jam lima pagi tentunya setelah mengambil uang dari ATM sebanyak dua ratus ribu sebagai uang suapku untuknya atas informasi yang menurut dia berharga sekali. Apa yang dia katakana memang berharga walaupun aku merasa masih banyak yang harus dia informasikan kepadaku.
Aku terus menatap lurus ke matanya. Dia tampak risih dan kemudian berlagak memperhatikan lalu lintas di sekelilingnya sambil menghisap dalam-dalam rokok yang aku berikan tadi.
“Rame sekali pagi-pagi jam segini. Uda pada keluar rumah ya itu orang- orang.”
“Mungkin ada yang harus pagi-pagi dateng ke Rumah Sakit gara-gara SMS yang nggak komplet dan sekarang ada yang lagi nunggu informasi yang lebih lengkap.” Komentarku sinis menanggapo laporan lalu lintasnya.
Wawan tertawa dan menggoncang dunia dengan perut buncitnya.
“Sabar dong. Lagi enak ngisep rokok, nih. Kan gak boleh ngerokok di dalem Rumah Sakit. Dari tadi gua didalem Tanya-tanya buat elo.”
“Dan dari tadi gua nunggu elo ngisep rokok.”
“OK,..OK,..g bisa santai ya ini orang. OK, namanya Dimas, 32 tahun. Masih single. Dia maen ama cewek semalem di hotel deket sini and kasar banget kayaknya maennya. Yang jelas inspirasinya bukan Maria Ozawa, ya. Kakakakakak.”
Wawan selalu menganggap selera humornya tinggi. Buatku tidak ada yang lucu harus bangun pagi untuk mendapatkan berita tetapi malah akhirnya membahas Maria Ozawa. Aku tidak tertawa sedikitpun. Malahan aku memicingkan mata lalu mengangkat alis kiriku. Wawan berhenti tertawa seketika dan berdehem-dehem basa-basi lalu melanjutkan ceritanya:
“Pelacurnya dipukulin abis-abisan sampai pingsan. Menurut pengakuannya setelah sadar, dia dipanggil germonya ke hotel jam satu malem. Dia dateng, dikenalin Dimas and mereka langsung cek in. Dimas bukan tipe one night stander. Eh, bener gak seh bahasa Inggris gua?”
Aku hanya terdiam dan masih dengan ekspresi wajah yang sama.
“Em,..anyway, Dimas tipe yagn romantis. Tipe yang gak langsung plug and play. Tipe yang pesen makan malem ke kamar dulu, ngobrol dulu dan yang laen-laen sampe si pelacur ngerasa kayak lagi di adegan PRETTY WOMAN. Kakakakakak.”
“Terus?”
Ketawa Wawan berhenti tiba-tiba lagi.
“Si pelacur itu…”
“Gak dapet nama lahir?”
“Ada . Ntar gua tanyain. So,…lanjut. Dia..”
“Sekarang aja.” Aku membalikkan tubuh dan menuju ke toilet meninggalkan Wawan. Ketika aku memasuki pintu gedung, ekor mataku menangkap sebuah perut buncit yang memasuki gedung tempat si pela… si korban dirawat.
Setelah aku selesai dengan urusanku di toilet, aku kembali ke depan RS dan aku menemukan Wawan disana menungguku.
“Nina. Gak tau orang tuanya ato germonya yang ngasi nama. Ato jagnan-jangan orangtuanya sekaligus jadi germonya dia. Kakakakakakak. Uhuuuk…uhuuuk…”
Wawan meludah seolah mengekuarkan setengah isi tenggorokannya. Aku berbalik sebentar dan mengeluarkan tisu serta menutupi hidungku. Aku berbalik lagi dan siap mendengar ceritanya lagi.
“Nina ngerasa diperlakuin kayak orang lagi diapelin pacarnya. Trus maenlah mereka. Kata Nina pas maen, dia muji si Dimas. Dia bilag kao si Dimas kuat banget. Dimas masih biasa. Trus dia juga bilang Dimas cakep. Nah abis ngomong gitu, si Dimas nyabut itunya tuh. Trus bangun and teriak-teriak gak jelas.”
“Teriak apa?”
“Dia bilang, dia gak suka pelacur bohong. Ngelacur ya ngelacur aja. Tinggal rebahan and teriam aja. Gak perlu bohong. Dia paling males sama orang bohong. Terus dipukuli deh si Nina.”
“Bohong bilang dia cakep?”
“Iye katanya. Bego tu cowok. Sapa sih yang gak seneng dibilag cakep. Apalagi kalo dia emang cakep.”
“Dimas cakep?” Aku merasa aneh bertanya seperti itu.”
“Cakep banget. Indo dia. Badannya muscle kemana-mana. Di hapenya ada foto dia lagi telanjang dada, pake kalung and celana pendek ketat banget di ruang fitness. Tatonya macho banget.” Dan aku pun merasa lebih aneh setelah mendengar jawaban Wawan. Dia pun tampaknya merasakan hal yang sama. Dia berhenti dan tampaknya memutuskan melanjutkan ceritanya lagi.
“Anyway, si Nina sebelum pingsan sempat ngebales mukul nalik di Dimas pake lampu meja di sebelah kasur. Dua-duanya pingsan. Nina sadar duluan and terus telepon operator hotel. Keduanya dilariin kesini.”
Setelah percakapan itu selesai, aku menyerahkan dengan sangat tidak rela uang dua ratus ribuku. Aku menyuruh Wawan untuk mengabariku lewat SMS tentang kelanjutan kasus Dimas dan Nina. Malamnya aku mendapatkan apa yang aku inginkan:
“Diperiksa psikolog. Katanya ada hubungannya sama MIXED STATE BIPOLAR DISORDER. Gak paham gua. Anw, kapan lo nraktir gua bilyard?”
Post a Comment