“Dapet sms dari salah satu guru yang bilang kalo sampe hari Kamis pagi madingnya tetep. Gak ada yang berubah disana, mas.”
“Terus?”
“Jujur rada gak percaya si, mas. Anyway, pas hari Sabtu, gua masuk and lewat di mading and ternyata emang masih yang sama kayak hari Selasa terkahir kemarin.”
“Jadinya?”
“Madingnya si sama, mas. Tapi satu kelas gua dapet satu sobekan kertas yang diketik sama persis fontnya kayak yang di mading di laci meja mereka.”
“Apa?!” Aku terkejut dengan pola pikir siapapun yang melakukan hal ini.
“Langsung deh pada rebut sekelas. Pada sms-an ke murid-murid lain apa mereka dapet pesan yang sama and jawabannya nggak! Cuma kelas gua, mas!”
“Isinya apa?” Intonasiku tinggi dan aku merasa malu setelah memakai intonasi itu. Tabitha tampak terkejut.
“Maaf.” Kataku pendek. “Isinya?”
“Ehm,…gakpapa. Isinya nyebutin semua zodiak and ramalan untuk smeua zodiak itu adalah: Di kelas lo, ada temen yang sebenernya nggak temen!”
“What?!”
“Langusng deh semua anak liat ke arah gua, mas. Secara panitia mading kayak Andre and Dian uda ilang. Bingung gua, mas. Langsung pada ambil tas and keluar kelas and pada lari. Gua juga ikutan tapi malah kayak dijauhin ma temen-temen gua sendiri. Guru ada yang tau and langsung ambil alih. Gua diamanin di sekolah. Gua diinterogasi abis-abisan sampe gau nangis, mas. Mereka pada bawa-bawa nama Andre and Dian and orang tua mereka yang kebingungan karena mereka nggak pulang. Kata kepsek, pihak sekolah uda nggak bisa nahan mereka untuk nggak telepon polisi and sekarang semuanya uda kacau.”
“Terus?”
“Hari minggu kemaren gua dibawa ke kantor polisi. Diinterogasi lagi. Capek and tambah bete harus ngulangin ngomong hal yang sama, mas. Malah gua ngerasa gua dituduh ada sangkut pautnya soal ini. Aduh, mas….”
Gaya bahasa tubuh Tabitha tulus menunjukkan kekhawatirannya tentang masalah ini.
“Tapi lo nggak ada hubungannya dengan semua ini, kan?”
“Ya nggak, lah! Gila, deh. Mereka kan temen-temen gua sendiri!”
“Iya, iya. Maaf. Nggak ada maksud ngga percaya.”
Tabitha mengontrol emosinya dan berkata:
“Nggak papa. Kalo di posisi mas Alex, gua mugkin juga bakal tanya yang sama. Nggak papa.”
Didepanku ada seorang gadis yang hebat!
“OK, so?”
“Gua dibebasin, mas. Tapi katanya yang lebih ke ngancem, gua diawasin gerak-geriknya.”
“Gua yakin mereka ada di sekitar kita sekarang.”
“Aduh, mas,” Tabitha tampak gusar. “Gua nggak ngasi mas Alex masalah, kan?”
Di dalam hatiku aku berkata bahwa masalah yang akan datang mungkin merupakan caraku untuk lebih dekat dengannya dan aku sama sekali tidak keberatan.
“Nggak masalah. Nggak papa kok. Terusin aja ceritanya.”
“Nggak tau harus ngomong apa lagi, mas. Si Andre and Dian masih belum bisa gua hubungin. Belum dapet kabar juga dari sekolah. Takut kalo besok ada ramalan zodiak lagi. Nggak bisa nebak mau ngomong apa lagi itu ramalan. Katanya polisi uda ngawasin seluruh sekolahan. Cuma ngerasa sedih sekarang karena niat baik ngerubah mading biar lebih personal malah jadi kayak gini, mas.”
“Pasti susah kalo gua bilang elo harus tabah. Tapi kayaknya nggak juga, ya. Lo kayaknya tipe yang tabah.”
“Lebih pasnya tipe yang nggak punya pilihan kecuali harus tabah, mas.”
Aku mengangguk. Seandainya saja semua wanita yang menghabiskan waktuku dulu mempunyai kepribadian seperti ini. Aku yakin hidupku tidak akan sia-sia sampai saat ini.
Aku mengantarkannya pulang sampai ke rumahnya dengan taxi. Di dalam taxi kami masih bertukar pikiran tentang berbagai hal. Dan aku semakin merasa aneh terhadap diriku karena aku lebih banyak setuju dan berkesan hangat. Padahal aku pikir untung saja menjadi hangat bukan termasuk salah satu syarat kelulusan SMAku. Kalo memang begitu, aku yakin akan menjadi siswa abadi.
Mengingat-ingat percakapanku dengan Tabitha membuyarakan usahaku untuk fokus ke sebuah kasus yang baru saja aku dapat infonya dari Wawan. Aku memutuskan untuk mengecek emaiku. Setelah aku buka, aku melihat satu email dari Tabitha. Aku segera memindahkannya ke folder khusus yang aku beri nama sesuai dengan namanya. Setelah aku melakukan itu, barulah aku membuka dan membaca emailnya.
“Dear Mas Alex,
Uda sebulan lebih kasus zodiak ini nggak ada kelar-kelarnya. Orang tua Andre and Dian uda g sabar g dpt kbar dari polisi soal penyelidikan ilangnya anak mereka. Pihak sekolah sendiri dituntut sama orang tua2 itu atas lamanya pelaporan. Kepseknya gak tau deh gimana nasibnya. Yang jelas yang gua denger2 dari anak-anak and guru2, gosipnya si Kepsek akan kekeh fokus ke kenyataan kalo uda gak ada zodiak lagi muncul sejak yang Taurus. Dugaan gw, ada anak yang iseng yang mungkin keterlaluan isengnya. Trus mereka sadar kalo masalahnya jadi tambah parah and mereka mutusin buat brenti iseng2an. Kl dugaan gua bener (and moga2 bener), untung aja Taurus gal ini belum sempat diculik ato digimana2in. At least dia masih bisa nerima ajakan ngopi2 dari salah satu penulis kolom di Jakarta J.
Tabitha
--you gotta know when to start and to stop--
Aku memperhatikan signature emailnya. Benar-benar merupakan pemikiran dari pengalaman pribadi. Aku baca lagi emailnya karena entah mengapa, tulisan-tulisan yang biasa itu menggugahku. Aku sangat tergugah untuk mengangkat hape dan mengirimnya sebuah pesan pendek dengan tempat dan jam.
Je
--You gotta know when to start and when to stop—
December 18, 2009 at 6:46 AM
mau bikin genre baru nih kayaknya.'romantic horror'. :-D
December 18, 2009 at 12:10 PM
kakakakakakakaak. cuman mau nambahin karakter, daff :)
Post a Comment